Industri Keuangan Syariah telah menjadi saksi
bisu pertumbuhan Lembaga Keuangan Syariah di beberapa Negara Muslim. Salah satu
faktor utama yang ikut berkontribusi dalam
kemajuan tersebut adalah kepatuhan pelayanan Perbankan Syariah dengan
orientasi keagamaan dari klien sendiri. Dengan pemahaman klien terhadap
Syariah, maka banyak peluang bagi Perbankan Syariah untuk terus melebarkan
sayapnya di Industri Keuangan Syariah. Bagi Industri Keuangan Syariah sendiri
tidak serta merta hanya menonton pendirian Perbankan Syariah tersebut tanpa ada
pengawasan dan pengarahan dari sisi syariah sendiri.
Untuk itu, dalam mengontrol Perbankan Syariah
supaya tetap berpegang pada prinsip syariah, Industri Keuangan Syariah membuat
peraturan terkait Kepatuhan Syariah (Sharia
Compliance) dan menjadikan syarat dalam pendirian Perbankan Syariah. Namun,
dalam pelaksanaan peraturan tersebut Industri Keuangan Syariah membutuhkan
pengawas langsung yang diturunkan untuk mengawasi perjalanan operasional
Perbankan Syariah tersebut, sehingga dibentuklah Shari’ah Supervisory Boards (SSBs) atau yang sering kita dengar
sebagai Dewan Pengawas Syariah (DPS).
Ada banyak permasalahan kontemporer yang
terdapat dalam praktek SSBs Instrumen Keuangan Syariah, contohnya masalah
kompetensi anggota SSB yang seharusnya memerlukan pengetahuan yang komprehensif
mengenai ekonomi, keuangan (akuntansi) serta hukum Islam. Akan tetapi, sulit
dalam menemukan seorang yang mumpuni dalam praktek tersebut. Latar belakangnya
antara lain perbedaan perspektif, dimana orang yang berlatar belakang berbeda
biasanya mempunyai paradigma yang berbeda dalam problem solving sebuah masalah, karenanya sulit untuk membentuk SSB
homogen dan efisien bagi bank yang sesuai. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
SSBs harus dibentuk dari pribadi-pribadi yang berkualitas dan berpengalaman
dari lulusan syariah sehingga efisien dalam mencapai tujuan yang diinginkan,
yang mana lulusan-lulusan tersebut diharapkan mampu bersaing dalam memenangkan
syariat Islam khususnya bagi Negaranya.
Setiap Negara Muslim harus berpedoman pada
syariat Islam sebagai tolok ukur Maslahah
dan mengurangi tingkat Mudhorot untuk
Negaranya. Yaman sebagai salah satu Negara muslim dijadikan sebagai sebuah
contoh perkembangan peradaban Perbankan Syariah didunia. Alasannya yaitu, pertama, Yaman adalah MENA (Middle East and North Africa) Negara
dengan keIslaman yang kuat. Ini menandakan bahwa mayoritas penduduk Yaman
menyadari aturan syariat serta mampu menerapkannya dalam setiap aspek
kehidupan, begitu juga berlaku pada para ulama syariah dan SSB yang ada. Kedua, Perbankan umum dan Perbankan
Syariah Yaman yang memiliki sejarah yang panjang dan beraneka ragam, struktur
organisasi yang rapi dan efisien serta dipantau oleh otoritas yang sesuai.
Perbankan Syariah di Yaman muncul pertama kali
pada tahun 1996, dimana Bank pertama didirikan dengan nama Islamic Bank of Yemen for Finance and Invesment (YSC) berdasarkan
Undang-Undang nomor 21 dari hukum komersial Yaman, dengan modal awal USD 10
juta. Kemudian disusul Tadhamon Internal
Islamic Bank (TIIB), didirikan dengan modal USD 93 juta ditahun yang sama.
Bank ini dianggap Bank terbesar di Yaman
dengan sebaran 50 cabang di seluruh negeri. Kemudian pada tahun 1997, pendirian
Saba Islamic Bank (SIB) dengan
pertumbuhan sangat cepat mencapai 18 cabang di Yaman dan Djibouti sampai saat
ini, dan masih banyak lagi Perbankan yang terus bermunculan dengan kegunaan dan
fungsi masing-masing.
Kemudian yang menjadi persyaratan dalam
Pendirian Perbankan Syariah yaitu dengan membentuk SSB yang terdiri dari 3-7
orang dari para ahli syariah (fiqh Muamalah). Dimana fungsi SSB sendiri adalah
berpartisipasi dalam membentuk dan menyetujui produk Bank Syariah, yang mana
akan ditinjau dari transaksi dan diputuskan sesuai dengan syariah. Akan tetapi
Bank Sentral Yaman tidak mengeluarkan peraturan yang jelas terkait isu-isu SSB,
hingga syarat untuk mempertahankan Indepensi SSB itu sendiri.
Ada beberapa temuan dan diskusi yang terjadi
dalam sebuah penelitian SSB di Yaman. Pertama,
dalam aspek struktur organisasi SSBs di Yaman, bahwa Perbankan Syariah di Yaman
mengikuti persyaratan minimum hukum Perbankan Syariah Yaman dalam hal jumah
anggota SSB, penunjukan auditor eksternal, keahlian keanggotaan SSB dan
beberapa SSB di Bank Syariah yang membuatnya terlihat sama dengan praktik
Perbankan Syariah di Negara lain seperti Malaysia, Indonesia, Bahrain, Qatar,
dll.
Kedua, proses pengawasan shari’ah dan
prosedur, dikatakan bahwa Perbankan Syariah Yaman menerapkan penerbitan yang
sama dalam fatwa dan Shari’ah Compliance,
karena didukung dengan masyarakatnya yang notabene adalah Muslim dan
berorientasi pada budaya dalam penekanan hukum Islam. Kemudian dalam hal
prosedur, Yaman lebih memberlakukan sistem regulasi lembaga.
Ketiga, SSBs dan dampaknya terhadap inovasi
keuangan Islam, bahwa Perbankan Syariah lebih tinggi bergantung dalam penerapan
instrumen utang (seperti Murabahah)
dan keengganan mereka dalam menawarkan produk berbasis ekuitas (seperti Mudharabah dan Musyarakah) karena lebih mempertimbangkan bahaya untuk Perbankan
Syariah sendiri. Yang mana efisiensi SSBs seharusnya diimbangi dengan
kreatifitas lain dengan teknik pemasaran tertentu untuk menarik lebih banyak
nasabah lain.
Keempat, terkait standar praktik Perbankan
Syariah dan keharmonisannya. Bahwa para responden mendukung kerangka umum
praktek Perbankan Syariah dengan konsep Syariah dan harus terus diupayakan agar
industri dan masyarakat luas mendapat keuntungan dan pemahaman umum dengan
berjalannya kerjasama antar Bank Syariah dan SSBs di suatu Negara.
Jadi dapat disimpulkan, bahwasannya Perbankan
Syariah di Yaman masih mengikuti praktek SSB pada umumnya seperti Negara-negara
tetangga dan masih menggunakan model Perbankan Syariah pada umumnya. Kemudian
dari temuan yang ada menunjukkan bahwa standar Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institution (AAOIFI)
adalah hanya dianggap sebagai pedoman untuk Bank Syariah Yaman tanpa penegakan
apapun oleh otoritas (Bank Sentral Yaman).
Comments